Unduh PDF Unduh PDF

Apakah Anda terbiasa untuk mengekspresikan kemarahan dengan berteriak? Jika iya, kemungkinan besar Anda sejatinya menyadari bahwa kebiasaan tersebut justru akan makin merusak kualitas hubungan Anda dengan orang lain. Bahkan, melakukannya pun tidak akan membuat perasaan Anda membaik atau membantu Anda untuk mendapatkan hal-hal yang diinginkan. Oleh karena itu, mulai sekarang, belajarlah mengubah pola komunikasi dan ekspresi emosi Anda ketika sedang marah. Latih pula diri Anda untuk mengutarakan maksud dengan tenang dan rasional. Setelah berhasil mengelola kemarahan di waktu tersebut, cobalah mencari cara untuk menyikapi kemarahan dengan lebih baik di kemudian hari.

Metode 1
Metode 1 dari 3:

Mengambil Jeda dalam Percakapan

Unduh PDF
  1. Tepat ketika volume suara Anda mulai meningkat, berhentilah melakukan apa pun. Anda bahkan tidak perlu menyelesaikan kalimat yang sedang diucapkan!
    Cobalah berpikir, “Apa sih , yang sebenarnya ingin aku sampaikan? Kira-kira, bagaimana cara terbaik untuk menyampaikannya, ya?
    [1]
    • Latih diri untuk mengambil jeda tepat sebelum, atau saat mulai, berteriak, agar Anda tidak berakhir mengucapkan kalimat yang menyakiti hati lawan bicara atau merusak hubungan yang terjalin dengannya.
  2. Tarik napas dalam-dalam untuk meredakan kemarahan yang muncul. Teknik bernapas dalam mampu menghasilkan respons tubuh yang relaks. Alhasil, tubuh akan terasa lebih tenang dan terkontrol setelah melakukannya selama beberapa kali.
    Untuk menerapkan teknik bernapas dalam, Anda hanya perlu menarik napas melalui hidung selama beberapa hitungan, menahannya selama beberapa hitungan, lalu mengembuskannya dari mulut selama beberapa hitungan.
    Ulangi aktivitas tersebut hingga ketegangan di dalam tubuh terasa mereda. [2]
  3. Berhitung dapat mengalihkan pikiran Anda dari hal-hal yang memicu kemarahan, pun mengizinkan pikiran untuk berfokus ke hal yang lain. Oleh karena itu, kapan pun kontrol diri Anda hilang, cobalah berhitung dari angka 1 sampai 10, atau bahkan 100, untuk mengatasinya. [3]
    • Berhitunglah dalam hati atau dengan suara keras, apa pun yang terasa lebih nyaman untuk Anda.
  4. Tinggalkan situasi komunikasi selama beberapa menit, dan luangkan jeda tersebut untuk berjalan-jalan santai mengitari kompleks. Pada dasarnya, bersatu dengan alam adalah cara yang ampuh untuk menenangkan diri dan menjernihkan pikiran Anda. Alhasil, kemarahan yang muncul pun dapat disikapi dan diekspresikan dengan cara yang lebih beradab setelahnya.

    Menenangkan Diri di Luar Ruangan:
    Sampaikan kepada lawan bicara bahwa Anda perlu meninggalkan ruangan selama beberapa menit. Misalnya, Anda bisa berkata, “Aku merasa perlu menenangkan diri, tapi nggak bisa di sini. Aku jalan-jalan sebentar, ya.” Meski terkesan mendadak, setidaknya Anda perlu menjauhkan diri dari situasi tersebut sebelum mengucapkan kalimat yang nantinya akan disesali. Toh Anda selalu bisa meminta maaf setelahnya, bukan?
    Berjalan-jalanlah. Jika memungkinkan, berjalanlah dengan tempo yang cepat untuk membakar uap panas di dalam tubuh Anda. Secara khusus, berfokuslah untuk menggerakkan kaki dan meningkatkan detak jantung sambil terus menarik napas dalam. Pergerakan itu sejatinya mampu menenangkan tubuh dan, cepat atau lambat, pikiran Anda.
    Paksa diri untuk menyadari 3 hal yang ada di sekitar Anda. Siapa sih , yang mau melakukan ini ketika sedang marah? Meski malas melakukannya, tetaplah mencobanya karena sejatinya, memaksakan diri untuk menatap langit, dedaunan di pohon, atau mobil-mobil yang lewat dapat mengusik fokus dan mengalihkan kemarahan Anda.

  5. Manfaatkan jeda tersebut untuk merelakskan setiap kelompok otot di tubuh sambil menarik napas dalam-dalam. Gemar berlatih yoga? Silakan melakukan beberapa asana untuk meredakan ketegangan yang menumpuk di tubuh dan pikiran Anda. [4]

    Melakukan Peregangan untuk Merelakskan Tubuh:
    Putar tubuh bagian atas ke arah kiri dan kanan. Angkat tangan ke atas sambil menekuk lutut, lalu putar tubuh bagian atas (dimulai dari pinggul) ke arah kanan sambil bertumpu dengan kaki tangan. Setelah itu, putar tubuh bagian atas perlahan ke arah kiri sambil memindahkan tumpuan ke kaki kiri. Lakukan gerakan tersebut untuk merelakskan seluruh otot tubuh Anda.
    Tekuk tubuh bagian atas dan sentuh ujung jari kaki dengan jari-jari tangan Anda. Bungkukkan tubuh dari arah pinggul, dan pastikan posisi tulang belakang Anda lurus ketika melakukannya, lalu sentuh ujung jari kaki dengan jari-jari tangan Anda. Tahan posisi tersebut dan biarkan kepala serta leher Anda terjatuh dengan relaks. Tidak bisa menggapai ujung jari kaki? Tidak masalah, cukup dorong tubuh Anda untuk membungkuk sejauh mungkin. Sejatinya, pose “menyerah tanpa perlawanan” ini ampuh membantu Anda untuk melepaskan kemarahan yang menumpuk.
    Buka pinggul Anda. Buka kedua kaki dengan posisi lebih lebar daripada bahu, lalu tekuk lutut Anda. Kemudian, letakkan tangan di atas lutut. Sambil meluruskan tangan kanan, miringkan tubuh Anda ke arah kiri dan rasakan peregangan yang terjadi di area pinggul dan pangkal paha. Tahan posisi tersebut selama 10 detik, lalu luruskan tangan kiri dan miringkan tubuh ke arah kanan. Sejatinya, banyak orang menumpuk ketegangan di pinggulnya, sehingga meregangkan otot-otot pinggul dapat membantu mereka untuk melepaskan kecemasan tersebut.

    Iklan
Metode 2
Metode 2 dari 3:

Mengutarakan Maksud

Unduh PDF
  1. 1
    Berpikirlah sebelum berbicara. Jika memiliki kecenderungan untuk berteriak ketika marah, kemungkinan besar Anda adalah “komunikator yang emosional.” Artinya, Anda memiliki tendensi untuk berbicara atau bertindak berdasarkan emosi dan insting, alih-alih pemahaman yang rasional.
    Percayalah, meluangkan waktu untuk memikirkan hal yang akan disampaikan akan membantu Anda untuk mengevaluasi reaksi yang tepat dan mengomunikasikan maksud dengan lebih terkontrol.
  2. Perbaiki situasi komunikasi dengan cara meminta maaf. Jelaskan bahwa Anda tidak seharusnya berteriak dan ingin terus mendiskusikan topik yang sedang diperbincangkan dengan cara yang lebih beradab. [5]

    Meminta Maaf:
    Tarik napas dalam-dalam. Akuilah, mengendalikan kemarahan dan mengucapkan kata maaf ketika sedang marah memang tidak mudah. Oleh karena itu, luangkan waktu untuk menutup mata, menarik napas dalam-dalam, dan mengontrol emosi Anda.
    Awali dengan kalimat yang menenangkan. Awali permintaan maaf Anda dengan berkata, “Oke,” atau “Baiklah.” Kata-kata tersebut adalah sinyal bagi lawan bicara bahwa Anda sedang berusaha mengubah nada bicara. Alhasil, dia pun akan merasa lebih tenang setelahnya.
    Berkatalah sejujur dan setulus mungkin. Sampaikan permintaan maaf Anda karena sudah meneriaki lawan bicara, dan jelaskan bahwa Anda memiliki kesulitan untuk mengontrol kemarahan. Setelah itu, mintalah izinnya untuk melanjutkan diskusi dan berjanjilah untuk mengekspresikan diri dengan lebih baik.

  3. Untuk mencegah Anda kembali berteriak, gunakan volume dan nada bicara “dalam ruangan” yang sangat lembut atau berbicaralah dengan suara berbisik seakan-akan Anda sedang berada di perpustakaan. Jika sedang berbicara kepada anak-anak Anda, misalnya, cobalah membiasakan diri untuk berbisik atau menggunakan nada bicara yang rendah alih-alih berteriak. [6]
    • Berbisik sejatinya memiliki manfaat ganda, yaitu untuk menjaga volume suara agar tetap terkontrol, dan untuk memastikan lawan bicara benar-benar mendengarkan kata-kata Anda.
  4. Beberapa kata yang lazim digunakan dalam proses berkomunikasi sejatinya dapat makin meningkatkan kemarahan Anda. Oleh karena itu, jangan pernah memakai kata-kata yang bersifat absolut seperti “selalu,” “tidak pernah,” atau “harus.” [7]
    • Kata-kata tersebut dapat memicu konflik karena
      terdengar menghakimi, menuduh, dan tidak memberikan ruang bagi lawan bicara untuk membela diri.
  5. Sampaikan maksud Anda secara lebih efektif menggunakan pernyataan yang berfokus kepada perasaan Anda, alih-alih bertujuan untuk menyerang lawan bicara. Misalnya, Anda bisa berkata, “Aku merasa kurang penting kalau kamu datang terlambat.” [8]
    • Ujaran “aku” akan membantu Anda untuk lebih berfokus kepada perasaan pribadi, alih-alih menyalahkan lawan bicara akan situasi yang terjadi.
    • Hindari ujaran “kamu” yang sebaliknya, bertujuan untuk menyalahkan lawan bicara,
      seperti “Kamu nggak peduli sama aku, ya? Kok terlambat terus, sih !”
    Iklan
Metode 3
Metode 3 dari 3:

Mengelola Kemarahan dengan Lebih Baik

Unduh PDF
  1. 1
    Berjanjilah kepada diri Anda sendiri untuk tidak lagi berteriak. Ingat, berteriak adalah reaksi yang sejatinya kontraproduktif dalam sebuah konflik atau perdebatan, terutama karena teriakan Anda dapat memicu tombol stres dalam diri lawan bicara dan membuatnya mengaktifkan “respons fight or flight ”, yaitu reaksi fisiologis tubuh terhadap serangan atau ancaman yang dianggap berbahaya. Alhasil, mereka akan ikut marah dan tidak mampu mencerna kata-kata Anda dengan baik. Secara khusus, anak kecil adalah lawan bicara yang paling rentan mengeluarkan respons tersebut. [9] Oleh karena itu, berkomitmenlah untuk berhenti berteriak, apa pun kondisinya.
    • Meski prosesnya tidak instan, jangan menyerah! Kapan pun merasa ingin berteriak atau bahkan sudah melakukannya, selalu ingatkan diri Anda akan komitmen tersebut dan luangkan waktu untuk menenangkan diri.
  2. Kenali sensasi yang muncul dalam tubuh Anda ketika akan marah. Dengan demikian, ke depannya Anda akan terbantu untuk menyadari emosi sehingga mampu mengambil langkah yang adaptif untuk menyikapinya. [10]

    Mengenali Kemarahan:
    Kenali gejala fisik yang menyertai kemarahan Anda. Pantau perilaku Anda selama satu minggu dan tuliskan berbagai emosi yang muncul menjelang kemarahan menyerang. Misalnya, jantung Anda akan berdegup sangat kencang, tubuh Anda akan mulai berkeringat, atau wajah Anda akan terasa memerah.
    Evaluasi emosi Anda di sepanjang hari. Cek kondisi Anda secara berkala untuk mengenali perasaan dan reaksi tubuh yang muncul pada saat-saat tersebut. Jika ingin, Anda bahkan bisa menggunakan bantuan aplikasi, seperti iCounselor: Anger , atau mengukur skala kemarahan melalui berbagai program yang tersedia di internet.
    Sadari kemarahan dan segeralah menyikapinya. Ketika menyadari bahwa kemarahan mulai muncul, berusahalah semaksimal mungkin untuk mengonfrontasi dan menenangkan perasaan sebelum ekspresinya mulai tidak terkontrol.

  3. Jika Anda merupakan tipe orang yang lebih suka menumpuk masalah dan menunggunya meledak, segeralah mengubah taktik itu!
    Tentukan jendela waktu tertentu untuk mendiskusikan masalah dengan orang-orang terdekat,
    dan lakukan metode ini secara rutin dan berkelanjutan. [11]
    • Misalnya, alih-alih mengomeli pasangan yang sudah tiga kali melalaikan pekerjaan rumahnya dalam seminggu, segeralah menyampaikan keluhan Anda setelah menyadari kelalaian pasangan, seperti ketika Anda mengecek kondisi rumah di malam hari.
  4. Jadikan relaksasi sebagai bagian dari rutinitas harian Anda! Pada kesempatan tersebut, luangkan waktu untuk mengecek ritme pernapasan Anda, melakukan meditasi kesadaran diri, atau menerapkan teknik relaksasi otot progresif . Strategi tersebut dapat membantu menjauhkan tubuh dan pikiran Anda dari stres maupun kemarahan yang tidak perlu. Alhasil, keinginan untuk meneriaki orang-orang di sekitar Anda pun tidak akan muncul. [12]
    • Lakukan sedikitnya satu latihan relaksasi selama 5-10 menit setiap hari.
  5. 5
    Rawat diri baik-baik untuk menurunkan kadar stres Anda. Kemungkinan besar, kebiasaan marah-marah dan berteriak mengakar pada level stres yang terlalu tinggi dalam diri Anda. Oleh karena itu, sikapi kemarahan Anda sebagai sinyal bahwa ada hal-hal yang perlu diubah dalam hidup Anda. Secara khusus, luangkan waktu setiap hari untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi kesehatan fisik dan emosional Anda, seperti:
    • Makanlah 3 kali sehari dengan menu yang sehat dan bernutrisi.
    • Tidurlah dengan cukup, setidaknya selama 7-9 jam setiap malam.
    • Selalu luangkan waktu, sesingkat apa pun itu, untuk melakukan aktivitas yang Anda sukai.
  6. Kemungkinan besar, pasangan, kerabat, atau sahabat yang bersedia menjadi pendengar adalah “obat” yang Anda perlukan untuk meredakan ketegangan dan/atau mendiskusikan cara yang lebih positif untuk mengekspresikan kemarahan maupun menyelesaikan masalah. Oleh karena itu, jangan ragu menjangkau sistem pendukung Anda alih-alih menumpuk kemarahan dan menunggunya meledak. Jika tidak memiliki sosok yang bisa dipercaya, tidak ada salahnya menceritakan hal-hal yang membuat Anda kesal kepada konselor ahli. [13]

    Membuka Diri
    Duduklah di tempat yang tenang dan aman. Mintalah sahabat atau kerabat terdekat untuk menemani Anda dalam situasi emosi yang tenang dan terkontrol. Pastikan Anda memilih lokasi yang tenang dan minim gangguan, seperti di dalam kamar atau di sudut taman yang sepi.
    Berkatalah sejujur mungkin. Utarakan hal-hal yang membuat Anda kesal dan perasaan Anda ketika berteriak. Diskusikan pula berbagai masalah dan kesulitan yang Anda alami dengannya. Percayalah, mereka dapat memberikan saran, jika diperlukan, atau sekadar menjadi pendengar yang baik untuk Anda.
    Jangan takut meminta pertolongan. Mengomunikasikan perasaan tidak sama dengan meminta nasihat. Dengan kata lain, Anda mungkin hanya perlu didengar, bukan dinasihati. Namun, jika merasa memerlukan nasihat dari orang tersebut, jangan ragu memintanya. Percayalah, mereka pasti akan menghargai kesediaan Anda untuk meminta pertolongan dan dapat memberikan nasihat yang tepat, jika diperlukan.

  7. 7
    Evaluasi perlu atau tidaknya Anda untuk mengikuti pelatihan komunikasi atau kelas manajemen kemarahan. Jika selama ini Anda merasa benar-benar kesulitan untuk menahan keinginan berteriak dan/atau perilaku agresif serupa ketika marah, cobalah mengikuti kelas atau pelatihan yang mengajarkan berbagai metode positif untuk mengelola kemarahan. Sebelumnya, cobalah mengevaluasi perilaku Anda ketika marah dan reaksi orang-orang terhadapnya. Jika merasa memerlukan pelatihan khusus terkait kemampuan mengelola kemarahan, cobalah meminta rekomendasi program yang sesuai kepada terapis atau dokter. Secara khusus, pelatihan tersebut mungkin Anda butuhkan jika:
    • Anda merasa terlalu sering marah.
    • Orang lain selalu mengeluhkan sikap Anda yang dianggap terlalu sering berteriak.
    • Anda merasa orang lain tidak bisa menangkap maksud yang ingin diutarakan jika tidak melalui teriakan.
    Iklan

Tentang wikiHow ini

Halaman ini telah diakses sebanyak 1.589 kali.

Apakah artikel ini membantu Anda?

Iklan