Artikel ini disusun bersama Jessica George, MA, CHt
. Jessica George adalah Pelatih Hidup Tingkat Master Profesional Besertifikasi dan Mitra Pendiri Evolve Therapy Coaching di Glendale, California. Berpengalaman lebih dari 20 tahun, dia spesialis dalam terapi hibrid dan layanan pelatihan, konseling pasangan, dan hipnoterapi klinis. Jessica meraih gelar Sarjana dari The University of California, Santa Barbara dan gelar MA dalam Psikologi Konseling dan Terapi Bicara dari Ryokan College. Dia juga memperoleh Professional Life-Coach Certification dari The Fowler Academy dan Infinite Possibilities Relationship Certification. Jessica adalah anggota International Board of Coaches and Practitioners (IBCP).
Ada 15 referensi
yang dikutip dalam artikel ini dan dapat ditemukan di akhir halaman.
Bagi orang luar, mudah saja menduga-duga kenapa seseorang tidak meninggalkan pasangan yang toksik atau melakukan kekerasan, tapi faktanya tidak sesederhana itu. Ada banyak alasan seseorang mempertahankan hubungan yang tidak sehat. Bahkan, ada juga yang merasa tidak bisa membebaskan diri dari pasangannya. Jika kamu sedang menjalin hubungan yang toksik, artikel wikiHow ini bisa memberikan pandangan tentang masalah yang sedang terjadi agar kamu mendapat masukan. Jika kamu menduga orang terkasih menjalin hubungan dengan pasangan yang toksik, kami akan memberitahukan beragam alasan yang membuat korban tetap bertahan agar kamu bisa berempati dan memberikan dukungan kepadanya.
Langkah
-
Ia menganggap perilaku buruk pasangannya bukan masalah besar atau hal biasa. Ketika seseorang ingin mempertahankan hubungan yang toksik, ia akan fokus pada sisi baik pasangannya. Bahkan, ia mengatakan kepada diri sendiri, "Masih untung aku nggak ditampar" atau "Kalau kita lagi rukun, dia baik kok ". Sayangnya, cara pandang seperti ini bisa membuat korban salah paham tentang kondisi hubungan mereka sebab ia tidak menyadari betapa parahnya masalah ini. [1] X Teliti sumber
- Jika terjadi pertengkaran, pasangan yang toksik terbiasa memosisikan korban sebagai kambing hitam untuk membuatnya merasa bersalah. Perilaku ini dikenal dengan istilah gaslighting .
- Bisa jadi, ia menganggap perilaku buruk pasangan adalah hal biasa, apalagi jika ia dibesarkan oleh orang tua yang toksik atau pernah melakukan kekerasan.
- Ada kemungkinan, korban akan menyadari bahwa ia sedang mengalami situasi yang tidak normal apabila ia sempat menghabiskan waktu dengan orang-orang yang positif.
Iklan
-
Korban bisa mengalami kekerasan jika ia ingin mengakhiri hubungan. Pasangan yang toksik mungkin mengancam akan menyakiti korban, anak, tetangga, teman, atau anggota keluarga yang lain, bahkan tega membunuh hewan peliharaan. Kabar buruknya, ancaman ini bisa benar-benar dilakukan. Oleh sebab itu, korban kekerasan harus menyusun rencana exit plan yang matang agar bisa meninggalkan orang toksik dengan aman.
- Penelitian menunjukkan bahwa korban kekerasan kemungkinan besar akan mengalami tindak kejahatan dari orang toksik sewaktu ia ingin pergi dari rumah atau tidak lama setelah berpisah. [2] X Teliti sumber
- Banyak orang merasa takut dan bingung saat ingin menjalankan rencana ini sehingga mereka tetap bertahan. Namun, peluang berhasil untuk membebaskan diri dari pelaku kekerasan menjadi lebih besar jika korban mampu menyusun exit plan yang matang.
-
Dalam siklus kekerasan, ada masa honeymoon . Setelah berbohong, berselingkuh, atau melakukan kekerasan, pasangan yang toksik akan berusaha keras meluluhkan hati korban atau membuat korban merasa dicintai. Ia akan minta maaf dan berjanji akan berubah, bahkan benar-benar berubah meski hanya untuk sementara waktu. Kabar buruknya, siklus ini akan berulang, dan perilaku buruknya terjadi lagi. [3] X Teliti sumber
- Kalau hubungan baik-baik saja, sangat sulit bagi korban kekerasan untuk meninggalkan pasangan yang toksik. Mereka berharap keadaan akan membaik untuk seterusnya sehingga tidak termotivasi untuk mengubah kehidupannya dan tidak mau membuat pasangannya marah.
Iklan
-
Hubungan yang toksik bisa membuat korban merasa rendah diri. Dalam hubungan yang toksik, korban sering mendengar ucapan yang merendahkannya saat menjalani keseharian. Seiring waktu, perlakuan ini bisa membuatnya tidak percaya diri sehingga menganggap dirinya pantas mendapat perlakuan buruk atau tidak layak dihargai. Bahkan, ia meyakini bahwa ia tidak berdaya untuk mengakhiri hubungan dan memulai hidup baru. [4] X Teliti sumber
- Biasanya, hubungan yang toksik dimulai ketika pasangan yang narsistik atau pelaku kekerasan memberikan afeksi secara berlebihan ( love bombing ) kepada seseorang. Begitu terjalin hubungan yang kuat, si narsis mulai mencela dan mengejek korban sehingga harga dirinya tergerus sedikit demi sedikit.
- Rasa rendah diri juga bisa menjadi pemicu perilaku defensif sebab mampu mengurangi penderitaannya jika ia mengalah kepada pasangan yang toksik.
- Gangguan rasa minder bisa berlanjut meskipun hubungan sudah lama berakhir sehingga korban sulit memercayai orang lain. Ketakutan untuk mengandalkan orang lain juga menyebabkan korban kesulitan mencari pertolongan.
-
Pasangan yang toksik biasanya mengontrol semua transaksi keuangan rumah tangga. Wajar jika korban berpikir mustahil meninggalkan pasangan jika ia tidak punya uang. Apa mungkin ia pergi dari rumah kalau tidak punya mobil atau tidak bisa membayar ongkos bus? Di mana ia akan bermalam jika tidak ada uang untuk membayar kamar hotel atau rumah kontrakan agar lebih murah? Bagaimana ia akan memberi makan dan membayar kebutuhan anak-anak? Pertanyaan yang memicu kekalutan pikiran ini membuat korban memilih bertahan dalam hubungan yang toksik. [5] X Teliti sumber
- Ada baiknya mencari tahu jejaring pendukung yang siap menolong korban kekerasan agar bisa hidup mandiri begitu mereka pergi dari rumah. Kalau tidak ada teman atau kerabat yang bisa membantu, cobalah meminta dukungan dari komunitas spiritual.
Iklan
-
Kelekatan ini terbentuk antara pelaku kekerasan dan korban. Jika seseorang kembali berperilaku baik kepadamu setelah bersikap dingin atau marah kepadamu cukup lama, hal ini bisa memprogram ulang saraf otak. Saat mengalami perlakuan baik, otak akan dipenuhi dopamin sehingga korban merasa lebih dekat dengan pelaku kekerasan. Ini disebut trauma bonding , tetapi bagi orang yang mengalaminya, tindakan ini dianggap sebagai cinta, afeksi, dan kedekatan. [6] X Teliti sumber
- Trauma bonding bisa terdeteksi dari cara korban menerima perlakuan buruk pasangan dengan dalih, misalnya, "Masa kecilnya sangat menyakitkan. Jadi, kadang-kadang ia melampiaskan penderitaannya dengan mengamuk" atau "Kecanduan bikin suamiku selingkuh dan bohongin aku, tapi aku tau sebenarnya dia sayang aku".
- Seseorang yang mau menerima afeksi seperti ini mungkin menyadari bahwa hubungannya tidak sehat. Namun, ia lebih memilih bertahan dengan pemikiran hanya dia yang mampu menolong pasangannya. Ia juga menganggap dirinya tidak setia jika mengakhiri hubungan. [7] X Teliti sumber
- Ada kemungkinan, ia juga berusaha membela pasangan jika orang lain mengkritiknya. Mengapa ia melakukan hal ini? Ia berharap pasangan akan melindunginya jika ia berbuat baik kepadanya.
-
Seseorang akan bertahan dalam hubungan yang toksik selama ia masih punya harapan. Ia memercayai pasangan yang berjanji akan berubah atau ia hanya melihat sisi baik pasangan, alih-alih seperti apa perilakunya. Kabar buruknya, kamu tidak bisa mencintai seseorang yang perlu berubah. Namun, hal yang umum terjadi pada korban kekerasan dalam rumah tangga adalah memercayai masih ada sesuatu yang bisa diharapkan dari pasangannya. [8] X Teliti sumber
- Banyak pelaku kekerasan melakukan love bombing kepada korban. Setelah melakukan kekerasan, mereka menghujani pasangan dengan hadiah, kebaikan, dan janji manis tentang cinta agar bisa berbaikan lagi. Inilah yang membuat korban terjebak dan percaya bahwa kekerasan tidak akan terulang lagi.
Iklan
-
Korban khawatir akan dianggap gagal jika ia mengakhiri hubungan. Mungkin ia pernah mendengar nasihat dari kerabat dan teman-teman bahwa pernikahan hanya sekali seumur hidup atau putus cinta/perceraian berarti kegagalan. Mungkin juga, ia mengambil keputusan bertahan karena mempertimbangkan pandangan religius atau tradisi. [9] X Teliti sumber
- Ia merasa malu untuk mengakui bahwa hubungannya toksik, apalagi jika kehidupannya selalu terlihat sempurna. Pelaku kekerasan biasanya manipulatif dan suka tebar pesona. Jadi, alasan tersebut sangat masuk akal. [10] X Teliti sumber
- Ia juga merasa seperti orang yang tidak punya dukungan, apalagi jika keinginannya untuk mengungkapkan pengalaman buruk menemui jalan buntu. [11] X Teliti sumber
-
Sebagai orang tua, korban merasa lebih mudah melindungi anak dengan bertahan. Jika korban pergi dari rumah tanpa anak, ia khawatir anaknya berada dalam bahaya. [12] X Teliti sumber Di sisi lain, kalau ia mengajak anak saat pergi dari rumah, ia khawatir tidak mampu memberikan kehidupan yang berkualitas kepada anak, apalagi jika salah satu pemicunya adalah masalah finansial. [13] X Teliti sumber
- Adakalanya, korban memilih bertahan karena kehadiran orang tua sebagai pasangan adalah yang terbaik bagi anak.
Iklan
-
Pelaku kekerasan kerap melarang korban berinteraksi dengan orang lain. Perlakuan ini biasanya terjadi selama rentang waktu tertentu dengan mengisolasi korban agar tidak mengontak teman, kerabat, rekan kerja, dan jejaring sosial yang lain. Akibatnya, korban merasa bergantung sepenuhnya pada pasangan. Saat berpikir ingin berpisah, ia khawatir orang lain tidak memercayainya atau tidak mau membantu. [14] X Teliti sumber
- Ia memilih bertahan mungkin karena ia takut tidak bisa punya pacar atau pasangan lagi. [15] X Sumber Tepercaya PubMed Central Kunjungi sumber
- Mungkin juga, ia merasa ragu apakah teman, kerabat, bahkan polisi mau melindunginya.
- Jika ia tidak punya dokumen resmi, mungkin ia enggan meminta bantuan sebab status sebagai warga di lingkungan tempat tinggalnya akan terekspos. [16] X Teliti sumber
-
Ini bisa terjadi jika korban menjalin hubungan sesama jenis, tetapi secara diam-diam. Kalau korban menjalin hubungan sesama jenis yang toksik, ia khawatir pasangannya akan bercerita kepada orang ketiga tentang hubungan ini jika mereka berpisah. Mungkin juga, pelaku kekerasan mengancam akan membuka rahasia kepada teman, anggota keluarga, atau rekan kerja. Perilaku manipulatif ini bisa menyebabkan korban memilih bertahan meskipun ia menderita. [17] X Teliti sumber
- Hal ini sangat sering terjadi pada kaum remaja yang baru mulai menjalani kehidupan seksual sesuai preferensi mereka.
Iklan
Tips
- Jika kamu mengetahui seseorang menjadi korban kekerasan, ceritakan hal ini kepada teman atau anggota keluarganya atau laporkan kepada polisi.
wikiHow Terkait
Referensi
- ↑ https://offices.depaul.edu/student-affairs/support-services/health-wellness/sexual-relationship-violence-prevention/Documents/Why_Do_People_Stay_In_Abusive_Relationships.pdf
- ↑ https://ncadv.org/why-do-victims-stay
- ↑ https://www.girlshealth.gov/safety/saferelationships/index.html
- ↑ https://ifstudies.org/blog/eight-reasons-women-stay-in-abusive-relationships
- ↑ https://offices.depaul.edu/student-affairs/support-services/health-wellness/sexual-relationship-violence-prevention/Documents/Why_Do_People_Stay_In_Abusive_Relationships.pdf
- ↑ https://www.domesticshelters.org/articles/ending-domestic-violence/what-is-trauma-bonding
- ↑ https://ifstudies.org/blog/eight-reasons-women-stay-in-abusive-relationships
- ↑ https://offices.depaul.edu/student-affairs/support-services/health-wellness/sexual-relationship-violence-prevention/Documents/Why_Do_People_Stay_In_Abusive_Relationships.pdf
- ↑ https://ifstudies.org/blog/eight-reasons-women-stay-in-abusive-relationships
- ↑ https://www.womensaid.org.uk/information-support/what-is-domestic-abuse/women-leave/
- ↑ https://ncadv.org/why-do-victims-stay
- ↑ https://offices.depaul.edu/student-affairs/support-services/health-wellness/sexual-relationship-violence-prevention/Documents/Why_Do_People_Stay_In_Abusive_Relationships.pdf
- ↑ https://ncadv.org/why-do-victims-stay
- ↑ https://www.womensaid.org.uk/information-support/what-is-domestic-abuse/women-leave/
- ↑ https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4666798/
- ↑ https://offices.depaul.edu/student-affairs/support-services/health-wellness/sexual-relationship-violence-prevention/Documents/Why_Do_People_Stay_In_Abusive_Relationships.pdf
- ↑ https://offices.depaul.edu/student-affairs/support-services/health-wellness/sexual-relationship-violence-prevention/Documents/Why_Do_People_Stay_In_Abusive_Relationships.pdf